Puisi Si Miskin Beserta Pencitraannya
Puisi Si Miskin
Karya: Veronica Rose Gunawan
Sumber : www.rimanews.co.id |
Miskin ialah kata yang menghantuiku
Harta tiada yang daku punya
Menjadi miskin bukan mauku
Hidup dalam putus asa tak kuinginkan pula
Wahai pejabat nan kaya raya
Pandanglah kami masyarakatmu
Kami hidup dalam kepahitan, Tidak lihatkah engkau?
Ataukah sengaja kah
engkau menutup mata?
Dengarlah kami rakyat jelata
Jeritan demi jeritan yang merajalela
Dalam lorong gelap Wamena
Di bumi Indonesia penderitaan melata
Kubawakan puisi ini bagimu
Aku di sini membela rakyatmu
Hanya satu yang kami pinta
Takkan banyak yang kami minta
Jangan telantarkan rakyatmu, pak pejabat
Jangan engkau karena uang menjadi bejat
Bukankah kalian wakil rakyat yang katanya merakyat?
Janganlah engkau membiarkan kami melarat & melarat
- Isi Puisi:
Puisi ini menceritakan
tentang orang miskin yang membela kaumnya yang terbukti dengan kutipan
“Kubawakan puisi ini bagimu , Aku di sini membela rakyatmu “. Dalam puisi ini, penulis ingin menyatakan
protes kepada para pejabat yang menggunakan kekuasaannya secara semena-mena dan
menelantarkan rakyatnya demi harta. Orang miskin yang diceritakan dalam puisi
itu berharap agar para pejabat tak menelantarkan rakyatnya demi harta karun
yang hanya memuaskan golongan pejabat saja. Hal ini dibuktikan pada kutipan “Jangan
telantarkan rakyatmu, pak pejabat , Jangan engkau karena uang menjadi bejat”.
- Pencitraan:
“ Miskin adalah kata yang menghantuiku ” (Bait 1, Larik 1)
·
Dalam
kutipan ini, pencitraan yang digunakan adalah pencitraan perasaan. Kutipan ini
dikatakan menggunakan pencitraan perasaan karena kata “menghantui” mengartikan
perasaan “takut” orang miskin pada terhadap kemiskinan yang melandanya.
“ Harta tiada yang daku punya “ (Bait 1, Larik 2)
·
Dalam
kutipan ini, pencitraan yang digunakan adalah pencitraan penglihatan. Kutipan ini dikatakan menggunakan pencitraan
penglihatan karena terlihat jelas pada fisik si miskin yang pakaiannya tak
layak serta memiliki penampilan yang kumal pada umumnya. Karena fisik si miskin
ini, dapat disimpulkan ia tak mempunyai nafkah yang cukup untuk merawat diri.
“ Menjadi miskin bukan mauku “ (Bait 1, Larik 3)
·
Dalam
kutipan ini, pencitraan yang digunakan adalah pencitraan intelektual. Kutipan
ini dikatakan menggunakan pencitraan intelektual karena pernyataan bahwa si
miskin tak mau menjadi miskin tercipta dari asosiasi intelektual. Gagasan bahwa
ia tak ingin menjadi miskin berasal dari pikiran orang miskin itu sendiri
“ Hidup dalam putus asa tak kuinginkan pula “ (Bait 1, Larik 4)
·
Kutipan
ini juga masih menggunakan pencitraan intelektual. Pernyataan pada kutipan itu
tercipta dari asosiasi intelektual yang berasal dari pikiran si miskin. Si
miskin menyatakan dari pikirannya sendiri bahwa ia tak ingin merasakan putus
asa.
·
Selain
itu, Pencitraan yang digunakan juga pencitraan perasaan yang ditandai dengan
kata “putus asa”. Definisi putus asa menurut KBBI adalah tidak mempunyai
harapan lagi. Putus asa inilah yang termasuk pada perasaan tak mempunyai
harapan.
“Wahai pejabat nan kaya raya “ (Bait 2, Larik 1)
·
Kutipan
ini menggunakan pencitraan pendengaran. Kutipan itu ialah ucapan salam dari si
miskin kepada para pejabat.
·
Kutipan
ini juga menggunakan pencitraan penglihatan. Kutipan ini dikatakan menggunakan
pencitraan penglihatan karena terlihat pejabat yang kaya raya yang diberi salam
oleh si miskin. Pejabat yang kaya raya itu pasti sudah terlihat harta yang
menumpuk di rumahnya dan bahkan penampilannya sudah menampilkan bahwa si
pejabat sungguh kaya raya.
“ Pandanglah kami masyarakatmu “ (Bait 2, Larik 2)
·
Terlihat
jelas bahwa pencitraan yang digunakan adalah pencitraan penglihatan. Hal ini
terlihat jelas pada kata “Pandanglah”. Si miskin mengingini agar para pejabat
melihat kondisi masyarakat yang serba hancur.
“Kami hidup dalam kepahitan, Tidak lihatkah engkau? “ (Bait 2, Larik 3)
·
Kutipan
ini masih menggunakan pencitraan penglihatan. Lebih dipertegas lagi dengan
kalimat tanya “Tidak lihatkah engkau?“. Si miskin bermaksud untuk menyindir
para pejabat secara halus dan meminta perhatian dari para pejabat.
·
Selain
pencitraan penglihatan, pencitraan yang digunakan adalah pencitraan pengecapan
yang ditandai dengan kata “kepahitan”. Kepahitan ini dirasakan oleh lidah namun
pada kenyataannya, kepahitan dalam puisi ini berarti kesusahan ataupun
kemelaratan.
" Ataukah sengaja kah engkau menutup mata? “ (Bait 2, Larik 4)
·
Kutipan
ini menggunakan pencitraan kinestik karena adanya gestur menutup mata yang
terlihat jelas pada kutipan di atas. Kalimat pada larik ini juga bentuk
penyindiran halus si miskin kepada para pejabat. “menutup mata” yang
dimaksudkan dalam larik ini pada kenyataannya berarti “berpura-pura untuk tidak
melihat”
“ Dengarlah kami rakyat jelata “ (Bait 3, Larik 1)
·
Pada
kutipan ini, pencitraan yang digunakan adalah pencitraan pendengaran yang
dibuktikan dengan kata “Dengarkanlah..” yang terdapat pada larik di atas. Dalam
larik ini, si miskin meminta perhatian dari para pejabat yang ditandai dengan
kalimat imperatif pada kutipan di atas.
“ Jeritan demi jeritan yang merajalela “ (Bait 3, Larik 2)
·
Pencitraan
yang digunakan dalam kutipan ini adalah pencitraan pendengaran yang dibuktikan
dengan kata ”Jeritan”.
·
Selain
pencitraan pendengaran, pencitraan penglihatan digunakan pula dalam larik ini.
Kata kunci yang mendukungnya ialah “merajalela”. Menurut KBBI, merajalela
artinya timbul dan tersebar. Artinya, orang-orang yang menjerit tersebar di
mana-mana.
“ Dalam lorong gelap Wamena “ (Bait 3, Larik 3)
·
Kutipan
ini menggunakan pencitraan penglihatan yang dibuktikan dengan kata “gelap”.
Gelap adalah kata sifat (adjektiva) yang terlihat oleh indra mata. Dalam larik
ini, si miskin ingin menunjukan betapa sengsaranya hidup dalam pemerintahan
para pejabat. Kesengsaraan ini disimbolkan dengan kata “gelap”.
“ Di bumi Indonesia penderitaan melata “ (Bait 3, Larik 4)
·
Kutipan
ini menggunakan pencitraan perasaan yang ditandai dengan kata “penderitaan”. Menderita adalah mengalami rasa sakit baik
fisik maupun batin. Rasa sakit yang dirasakan oleh batin inilah yang disebut
perasaan menderita.
·
Selain
pencitraan perasaan, pencitraan penglihatan pun juga digunakan dalam puisi ini.
Pencitraan penglihatan dibuktikan dengan kata “melata”. Artinya, penulis ingin
menyampaikan bahwa penderitaan yang tersebar di wilayah Indonesia akibat para
pejabat yang korup.
“ Kubawakan puisi ini bagimu “ (Bait 4, Larik 1)
·
Kutipan
ini menggunakan pencitraan kinestik yang ditandai dengan kata “kubawakan”.
membawa menjadi pergerakan yang dilakukan tubuh manusia. Pada kenyataannya,
kata “kubawakan” pada puisi ini berarti “dibacakan” kepada para pejabat. Si
miskin berharap agar para pejabat hendak mendengar puisi dari si miskin.
“ Aku di sini membela rakyatmu “ (Bait 4, Larik 2)
·
Dalam
kutipan ini, pencitraan yang digunakan adalah pencitraan pendengaran karena si
miskin membela rakyat dengan puisi yang ia bawakan untuk para pejabat yang
korup.
“ Hanya satu yang kami pinta “ (Bait 4, Larik 3)
·
Kutipan
ini menggunakan pencitraan pendengaran yang dibuktikan dengan kata “pinta”.
Pintaan ini ditangkap oleh indra pendengar yakni telinga.
“ Takkan banyak yang kami minta “ (Bait 4, Larik 4)
·
Kutipan
ini menggunakan pencitraan pendengaran pula yang dibuktikan dengan kata
“minta”. Permintaan ini ditangkap oleh indra pendengar yakni telinga.
“ Jangan telantarkan rakyatmu, pak pejabat “ (Bait 5, Larik 1)
·
Dalam
kutipan ini, pencitraan yang digunakan ialah pencitraan perasaan. Si miskin
merasa telantar dengan arti dilupakan. Maka, si miskin ingin memperingati para
pejabat untuk tak melupakan rakyat yang telah memilih mereka semua untuk duduk
di kursi pejabat.
“ Jangan engkau karena uang menjadi bejat “ (Bait 5, Larik 2)
·
Kutipan
ini menggunakan pencitraan intelektual. Gagasan (ide) ini muncul pada pikiran
si miskin melalui asosiasi intelektual. Si miskin menyimpulkan bahwa pejabat
digoda harta hingga mengabaikan masyarakatnya.
“ Bukankah kalian wakil rakyat yang katanya merakyat? “ (Bait 5, Larik 3)
·
Kutipan
ini menggunakan pencitraan pendengaran karena ada kata “katanya”. Artinya,
pernyataan bahwa wakil rakyat yang merakyat adalah kata yang diucap orang yang
satu ke orang yang lain. Pernyataan yang diucap ini tentu ditangkap oleh indra
pendengaran yakni telinga.
·
Kutipan
ini juga menggunakan pencitraan intelektual. Pertanyaan pada larik tersebut
juga tercipta dari asosiasi intelektual. Pertanyaan yang berasal dari ide si
miskin bahwa wakil rakyat itu tak sepenuhnya merakyat. Pertanyaan ini adalah
salah satu sindiran halus pada pejabat yang korup.
“ Janganlah engkau membiarkan kami melarat dan melarat “ (Bait 5, Larik 4)
·
Kutipan
ini menggunakan pencitraan intelektual. Ide ini muncul dari asosiasi
intelektual dari si miskin. Si miskin menemukan ide bahwa apabila para pejabat
terus korup, maka yang kaya akan semakin kaya sedangkan yang miskin hanya akan
bertambah miskin. Maka si miskin meminta agar para pejabat tidak terus menyengsarakan
rakyat dengan egoisme para pejabat yang korup.
Komentar
Posting Komentar