The Blades Between Us
Ilustrasi Oleh Heiwai, Heisei Project, Izanami Toubatsu Senki. |
Marilah kita menari dalam terang dan kegelapan dunia, bersama pedang, bersama api, bersamamu, bersamaku. Takdir telah mempertemukan kita. Dahulu sebagai kawan, sekarang sebagai lawan. Mari, mari, datanglah, akan kulayani sepenuh hati. Biarkan kesunyian yang dihancurkan oleh bunyi besi yang bergesekan satu sama lain. Bersamamu, bersamaku.
Mengalir seperti air itulah pertarungan kita. Merah membakar itulah benci di antara kita. Kejam, itulah kata yang menggambarkan takdir di antara kita. Ya, takdir sebagai seorang kawan yang menjadi lawan.
Warna jingga mewarnai langit yang indah. Daun-daun berguguran menutupi bumi yang penuh kehancuran. Mari, mari, kita menari. Biarkan kesengitan antara kita meningkat seiring suhu yang kian memanas. Tatapan tajam kita bertemu satu sama lain sebagai musuh bebuyutan.
Buta terhadap dunia yang keras, buta terhadap realita yang ada. Ayo, ayo. Kutantang engkau dalam duel antara kita sebagai lawan, hai, mantan kawan. Menghancurkan realita dari dunia yang tak nyata ini, terbukalah realita sesungguhnya untuk menggapai batinmu. Sebelum bibit kejahatan terus bertumbuh, kuingin menjadi orang yang menyadari engkau, kawan yang menjadi lawan. Bisakah engkau mendengarkanku, lawan?
Sekeras batu, sekeras baja. Itulah pendirianmu. Pedang ini takkan pernah menembus pendirian bajamu. Percikan api antar kedua pedang kami tak kunjung padam. Dua, tiga, empat. Empat kali kau melukaiku. Tiga, empat, lima. Sebanyak itulah kumenyayat kulitmu. Kukibaskan pedangku menuju lehermu. Tak segampang itu, Tak sesulit itu, pedangmu hanya dua milimeter dari leherku. Dengan seringai terlukis di wajah kita, kami menghujat, kami mengejek, kami merendahkan satu sama lain.
Dunia semakin tak irasional, begitu juga engkau. Kami melangkah mundur dengan sigap, bertatapan satu sama lain dalam kebencian dan kesengitan. Kelengahanmu menjadi kekuatanku, dengan segenap tenaga dan jiwa, kutebas dadamu dengan pedangku. Tumbanglah keseimbanganmu dari posisimu yang kian gagah menopang diri. Semerah bencimu, cairan merah menggenangi daratan di mana kami memijak kaki. Sebiru hatiku, air mata tak sanggup kutahan. Dengan kedua mataku yang basah akan air mataku, kusaksikan sendiri bahwa kedua tanganku telah menebas engkau, hai lawanku.
Lawan, oh salah, kawanku. Telah kutipu engkau. Kuakui, dengan setulus hati kuakui bahwa aku telah berbohong. Tiada benci yang kusimpan bagimu, Tiada dendam yang kubawa untukmu. Seringaiku adalah drama. Tatapanku tak bermakna sebenarnya. Tubuhmu memang habis olehku. Kata-kata yang belum terungkap akhirnya terungkap bagimu. "Janganlah lenyap, kawan."
Jangan kebiasaan tipu kawan ataupun lawan juga sobat(paragraf terakhir)#kidding yah
BalasHapusDasar tukang ngerjain kau. Makasih sudah berkunjung ya. :D
Hapus